CINTA
NON KOMERSIL
By
: Witri Prasetyo Aji
“Vi, tahu nggak, hari ini Edo ngajak
gue nonton. Pokoknya, hari ini tuh gue seennengg banget,” cerita Clara kepadaku
dengan wajah berseri-seri. Senyuman hampir tak pernah terlepas dari bibir
manisnya itu.
Aku hanya mampu tersenyum getir
melihat kebahagiaan Clara dan tetap setia mendengarkan penuturannya yang
sebenarnya membuatku merasa iri. Bagaimana tidak? Jadi Clara tuh beruntung
banget, sudah anaknya cantik, manis, pinter, anak orang kaya pula. Selain itu,
Clara juga punya pacar Edo yang cakep dan kaya. Sering nonton bareng,
jalan-jalan, hang out, dan sering
diberi kejutan-kejutan pula. Beda banget dengan aku. Walaupun aku tak kalah
cantiknya dengan Clara, tapi aku tak seberuntung Clara yang mendapatkan pangeran
cakep nan kaya macam si Edo.
Pacarku bernama Ryan, memang tidak
sekaya Edo, namun Ryan cukup memberikanku perhatian lebih dari yang Edo berikan
ke Clara. Ryan itu anaknya biasa saja,
dari keluarga sederhana pula, pacaran kami pun tak ada romantis-romantisnya.
Ryan tidak pernah mengajakku nonton, makan bareng apalagi membelikanku
kejutan-kejutan kecil seperti Edo. Ya, aku bisa mengerti itu. Buat bayar SPP
saja sering ngadat, apalagi buat membelikanku kejutan-kejutan berupa barang.
Pernah aku minta sesuatu ke Ryan,
namun dia malah ngatain aku cewek matre dan membanding-bandingkan aku dengan
Rena—mantan pacarnya. Dan setelah itu, aku sama sekali tak berani meminta
apapun pada Ryan. Bahkan, saat jalan bareng pun aku juga tak pernah meminta
dibeliin makanan olehnya walaupun saat itu aku sedang lapar. Aku cukup trauma
dibilang cewek matre oleh pacarku sendiri. Padahal waktu itu aku hanya minta
Ryan untuk membelikanku sebuah novel.
“Woi, kok bengong sih?” gertak Clara
mengagetkanku. Lamunanku membuyar. Aku pun kembali terdampar dalam dunia nyata.
“Eh, oh, eh,” jawabku gelagapan. Aku
jadi salah tingkah sendiri.
“Lo kenapa sih, Vi? Akhir-akhir ini
gue perhatiin lo tuh sering banget ngelamun?” tanya Clara padaku sembari
menyeruput jus alpukatnya.
Aku
juga menyeruput jus apelku yang sedari tadi aku anggurin lantaran melamun
tentang kepelitan Ryan padaku.
“Nggak
apa-apa kok, Ra. Mungkin gue sedikit kecapekan aja,” bohongku.
Walaupun
Clara sahabat karibku, aku tak mungkin bercerita padanya tentang gaya pacaranku
dengan Ryan. Aku nggak mau kalau pacarku akan dikatain cowok nggak modal. Walau
bagaimanapun juga, Ryan itu adalah cowok yang aku cintai. Mana mungkin hatiku
bisa menerima seandainya ada yang menghinanya. Yah, walaupun pada kenyataannya
Ryan memang sedikit keterlaluan, dia begitu berbeda dengan yang lainnya. Yang
jelas, Ryan terlalu perhitungan perihal pengeluaran.
“Oh,
ya Vi, gimana kalo ntar kita nonton bareng? Double
date gitu?” usul Clara yang sebenarnya lumayan menarik untuk dijalani.
Aku
mengerutkan keningku. Rasanya itu mustahil. Ryan mana mau menghambur-hamburkan
uangnya hanya buat nonton. Bisa-bisa dia malah menceramahiku dan mungkin akan
bilang... aku matre.
“Kayaknya
gue nggak bisa deh, Ra. Tadi Mama nyuruh gue cepet-cepet pulang kalo nggak ada
kuliah,” alasanku yang berusaha menyelamatkan diri dari ajakan Clara.
Clara
menampakkan wajah cemberutnya. Bibirnya manyun. Sepertinya kecewa, begitu juga
dengan aku. Tapi, ya sudahlah. Aku tak berani mengambil resiko, aku sedang
malas berdebat dengan Ryan.
“Yah,
sayang sekali.padahal hari ini tuh ada film horor terbaru, gue yakin lo pasti
suka,” celoteh Clara yang semakin membuatku merasa iri.
Aku
hanya mampu tersenyum getir, menyembunyikan kekecewaanku.
“Lain
kali kan masih ada waktu, Ra,” ucapku menghibur.
Clara
hanya manggut-manggut dan kembali menyeruput jus alpukatnya.
*****
Malam minggu. Aku selalu
menghabiskan malam mingguku di rumah. Walaupun Ryan kerap sekali datang ngapel,
namun sekalipun Ryan belum pernah mengajakku malam mingguan di luar. Katanya,
malam minggu di rumah lebih aman, malah bisa lebih dekat dengan kelurgaku. Dan
juga, udara malam itu nggak baik buat kesehatan, dan bla bla bla. Ryan selalu
mempunyai sejuta aalsan untuk tidak mengajakku malam minggu di luar.
“Kog Cuma diem aja sih, Vi?” tanya Ryan
kepadaku.
“Nggak apa-apa kog,” jawabku datar.
Sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan keinginanku, aku ingin pacaran yang
wajar, seperti teman-temanku yang lainnya. Setidaknya, ada jalan-jalan, dinner, lunch, nonton, kado-kado kecil atau apalah. Sementara aku dan Ryan?
Sama sekali nothing special, monoton
dan membosankan. Pacaran selalu di rumah dan ditemani buku-buku kuliah serta
rancangan masa depan yang menurutku belum waktunya untuk aku pikirkan.
“Vi, kalo ada masalah tuh cerita,
jangan dipendem sendiri,” ujarnya menasehatiku.
Aku menyunggingkan senyum
keterpaksaan. Mudah sekali Ryan berbicara seperti itu. Apa dia tak menyadari
bagaimana dirinya selama ini menjadi pacarku? Kenapa Ryan sama sekali tak memikirkan
tentang perasaan aku, hati aku? Kenapa dia sama sekali tidak peka, sih?
Aku hanya terdiam. Rasanya masih
malas untuk berkeluh kesah pada Ryan. Aku sudah bosan mendengarkan
ceramah-ceramah Ryan yang terlalu berlebihan itu. Lebay.
“Vi, aku ini pacar kamu, kenapa kamu
nggak mau cerita ke aku?” tanyanya lagi.
Aku menarik nafas berat. Menatap
Ryan lekat-lekat. Wajah polosnya itu membuatku tak tega untuk menuntut lebih
dari apa yang Ryan berikan kepadaku selama ini. Bahkan, dari sinar matanya aku
mampu melihat ketulusannya yang tak pernah orang lain pancarkan.
Apa
aku salah, jika aku ingin pacaran seperti yang lainnya? Batinku menjerit di
ambang dilema. Antara kejujuran atau aku harus menahan egoku.
Aku menunduk. Air mataku menetes.
“Kok malah nangis sih, Vi?” tanya
Ryan yang mendekat ke arahku. Tangannya yang lembut mengusap pipiku yang basah
karena air mata.
Tangisku semakin terisak. Ryan lalu
menarik tubuhku ke dalam pelukannya.“Diam dong Sayang, jangan nagis. Ntar
diketawain bintang-bintang loh,” hibur Ryan padaku. Nada bicaranya terdengar
lembut dan menyejukkan hati.
Aku menyandarkan kepalaku di
dadanya. Menikmati pelukan Ryan yang cukup menghangatkan. Sementara egoku masih
tetap bergejolak dalam hatiku. Anganku menerawang ke Clara yang tengah nonton
dengan Edo. Pasti sehabis nonton, Edo akan mengajaknya dinner atau siap membelikan barang-barang mewah yang tak pernah
Ryan berikan padaku.
“Sayang, ada bintang jatuh tuh.
Cepet make a wish,” ucap Ryan sembari
menunjuk ke langit dan membuyarkan lamunanku tentang Clara dan Edo.
Aku menutup mataku. Menginginkan
kalau Ryan mau berubah seperti cowok-cowok yang lainnya. Setidaknya mau
menyisihkan sedikit uangnya untuk modal pacaran kami agar tak monoton seperti
ini. Hmm, malam minggu selalu dihabiskan di pelataran rumahku sembari melihat
bintang, benar-benar membosankan.
“Sayang, semoga kita berjodoh, ya?
Aku nggak mau kehilangan kamu, aku pengen kamu nanti jadi isteri aku,” ucap
Ryan yang membuatku tersentak. Seserius itukah dia padaku?
Aku hanya tersenyum.
Dalam hatiku rasanya ingn menolak
ucapan Ryan. Membayangkan bagaimana menata kehidupan bersama cowok perhitungan
seperti Ryan. Bisa-bisa sebulan diajak puasa. Ah, tidak! Aku dan Ryan masih
terlalu dini untuk berpikir ke arah itu.
*****
Aku mendekat ke arah Clara yang
tengah mengaduk makanannya. Wajahnya terlihat murung dan kelam. Aku tak lagi
melihat wajah sumringah yang biasa terpancar dari Clara.
“Lo kenapa, Ra? Ada masalah?”
berondongku ingin tahu.
Clara hanya terdiam. Dia masih
mengaduk makanan yang sudah dipesannya oleh Mbok Min—ibu kantin. Hingga
beberapa menit kemudian, Clara masih terdiam, namun dia segera memelukku
ditemani airmata yang tumpah dari pelupuk matanya. Aku semakin bingung
dibuatnya. What happen? Pekikku dalam hati.
Untuk beberapa saat, aku membiarkan
Clara berteduh dalam pelukanku. Aku memang belum tahu dengan apa yang tengah
menimpa Clara, tapi aku tahu kalau Clara sangat terpukul.
Perlahan Clara melepaskan
pelukannya. Dia lalu mengusap airmata yang tengah membasahi wajahnya. Dan Clara
mulai sedikit tenang.
“Clara, ada apa? Cerita dong,”
bujukku penuh rasa penasaran.
Clara hanya terdiam. Sepertinya dia
butuh waktu untuk mengungkapkan apa yang tengah menimpanya. Sebagai sahabat,
aku cukup sabar menanti Clara membagi cerintanya.
“Gue putus ma Edo,” ucap Clara
singkat. Bagai petir di siang bolong, aku tak percaya dengan apa yang diucapkan
Clara. Mungkin ini semua haya lelucon belaka yang sengaja Clara ciptakan.
“Hahahahhahah,” tawaku penuh rasa
tak percaya.
“Braakkkk!!” Clara mengertak meja
dan membuatku menghentikan tawaku. Hingga beberapa pasang mata sempat melirik
ke arahku dan Clara. “Gue serius, Vi!” ucap Clara setengah membentak.
Beberapa detik kami dalam
keheningan. Aku merasa bersalah karena telah menertawakan Clara.
“Edo itu ternyata playboy. Dia pikir, dengan uang semua
akan mampu dia dapatkan,” ucap Clara tiba-tiba. Aku hanya mendengarkannya saja,
aku diam. “Yang lebih menyakitkan, dia bukan hanya berfikir kalau dia mampu
membeli cinta, tapi...” Clara kembali tertahan. “Harga diri gue.”
Aku melirik wajah kelam Clara yang
begitu pilu. Aku tahu bagaimana besar cinta Clara ke Edo. Namun aku juga tahu
dengan apa yang Clara rasakan saat ini, mungkin lebih dari kecewa.
“Dan yang ngebuat gue lebih nggak
percaya, habis nonton dia malah ngajak gue happy-happy
ke hotel. Ah,” sambung Clara penuh getir.
Aku hanya diam mendengarkannya, aku
tak mau banyak bertanya, karena mungkin
pertanyaanku hanya akan semakin menyiksa perasaan Clara. Tapi dari cerita
Clara, setidaknya aku tahu, cowok kaya itu banyak nggak setianya. Dan aku, aku
merasa bersalah karena pernah membandingkan Ryan dengan Edo, padahal Ryan jauh
lebih menghargai wanita daripada Edo.
*****
Dan
sore itu, Ryan mengajakku untuk makan di luar. Sesuatu yang jauh banget dari
kebiasaan. Mungkin, selama kami pacaran, ini adalah kencan pertama kami. Ah,
aku yang terlihat lebay..hehe
“Vi,”
panggil Ryan lirih.
“Iya,”
jawabku sembari meliriknya.
Ryan
hanya diam saja, dia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Ada kotak
kecil yang dibukanya. Lalu menarik jemariku dan menyematkan sebuah cincin
berlian di jari manisku.
“Vi, maafin aku selama ini kalau aku
nggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Tapi aku janji, Vi, aku akan
berusaha jadi suami yang baik buat kamu,” ucap Ryan yang menatap lekatku.
Aku tak lagi mampu berkata apa-apa.
Mungkin hanya air suci yang terjatuh dari sudut mataku yang mampu menjawab
kejutan kecil ini. J